Search This Blog

Ilmu Jarh wa Ta’dil (ilmu tentang kecacatan dan keadilan perawi hadis)



Ilmu Jarh wa Ta’dil atau ilmu Rijal al-Hadis adalah ilmu kritik yang membahaskan sejarah, ilmu, sifat-sifat keadilan dan amalan-amalan seorang perawi hadits. Ilmu ini adalah ilmu yang sangat penting dalam disiplin ilmu hadis kerana ia dapat menentukan suatu hadis itu ditolak ataupun diterima.

Jika seorang ahli hadis dinyatakan cacat semasa penelitian hadis (takhrij al-hadis) maka periwayatannya ditolak, sebaliknya jika seorang perawi dipuji dengan pujian adil, maka periwayatannya diterima, selama syarat-syarat lain untuk menerima hadis itu dipenuhi. Ilmu ini juga dapat membersihkan seorang rawi dan menetapkannya bahwa ia adalah seorang yang adil atau dhabit.

Perkembangan ilmu jarh wa ta’dil bermula sejak terjadinya al-fitnah al-kubra atau pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 36 H. Ketika itu, kaum muslimin terbahagi kepada beberapa puak dan mereka memusuhi diantara satu dengan lain sehingga membuat hadis-hadis palsu atas tindakan yang mereka lakukan.

Sejak itulah para ulama hadis mula meneliti dan memilih hadis-hadis Rasulullah SAW dari segi matan dan mengkritik sanad serta perawi-perawi yang menyampaikan hadis tersebut. Diantara sahabat yang pernah membicarakan masalah ini adalah Ibnu Abbas (68 H), Ubaidah Ibnu Shamit (34 H), dan Anas bin Malik (39 H).

Para ulama hadis meneliti dan membahaskan sifat-sifat seseorang perawi yang boleh dipercayai atau diyakini dan sifat-sifat tanggungjawab serta akhlak perawi-perawi hadis itu. Diantara para tabi’in yang membahas jarh wa ta’dil adalah Asy-Sya’bi (103 H), Ibni Sirrin (110 H), dan Sa’id bin al-Musayyab (94 H).

Para ulama jarh wa ta’dil mengkritik dan menerangkan kedudukan seorang perawi, walaupun perawi itu adalah ayahnya, anaknya ataupun saudara-maranya sendiri. Mereka berbuat demikian, semata-mata untuk memelihara agama dan mengharapkan ridha dari Allah SWT.

Contohnya Ali bin al-Madini (161 H-234 H) pernah ditanya tentang ayahnya sendiri. Ali bin al-Madini menjawab, “Tanyakanlah tentang hal itu kepada orang lain”. Kemudian orang yang bertanya itu mengulangi lagi pertanyaannya. Kemudian Ali berkata: “Ayahku adalah seorang yang lemah dalam bidang hadis”.

Para ulama hadis sangat berhati-hati dalam memperkatakan keadaan seorang perawi hadis. Mereka mengetahui apa yang harus dipuji dan apa yang harus dicela. Mereka melakukan ini semua hanyalah untuk menerangkan kebenaran dengan rasa penuh tanggungjawab.

Para ulama hadis mempunyai methodologi pemeriksaan dan kaedah penelitian matan dan sanad hadis yang amat ketat agar dapat menyelamatkan hadis-hadis Nabi SAW dari pemalsuan. Apabila seorang rawi sudah ditarjih sebagai rawi yang cacat maka periwayatannya ditolak dan apabila seorang rawi dita’dil sebagai orang yang adil maka periwayatannya diterima.

Syarat-syarat bagi penta’dil (mu’addil) dan jarih:

a) Ilmu pengetahuan
b) Takwa
c) Wara’ (orang yang selalu menjauhi perbuatan maksiat dan dosa)
d) Jujur
e) Menjauhi taksub dan fanatik golongan
f) Mengetahui sebab-sebab menta’dil dan mentajrih


Wallahu'alam

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.